element




StopGlobalWarming.org

site statistics

Wednesday, August 8, 2007

DAMPAK EKONOMI Lebih Dahsyat dari Perang Dunia


dikutip dari kompas.com: Sri Hartati Samhadi

Selain dampak ke kehidupan manusia dan lingkungan, dampak paling menakutkan dari fenomena pemanasan global adalah terhadap perekonomian. Dampak pemanasan global terhadap perekonomian dunia bisa jauh lebih parah dari kerusakan yang diakibatkan oleh kombinasi dua Perang Dunia dan depresi ekonomi dunia tahun 1930-an.

Emisi gas rumah kaca sekarang ini tak bisa dilepaskan dari aktivitas ekonomi. Data yang diungkapkan mantan ekonom Bank Dunia, Nicholas Stern, emisi karbon dioksida (CO>sub<2>res<>res<) selama ini sebagian besar bersumber dari penggunaan energi berbahan bakar fosil yang sangat berperan besar dalam menopang kegiatan dan pertumbuhan ekonomi di seluruh dunia.

Ironisnya, bahan bakar fosil yang mencemari lingkungan ini diperkirakan masih akan menjadi sumber energi yang dominan bagi dunia hingga beberapa dekade ke depan.

Penggunaan energi ini terutama (61 persen) untuk pembangkit listrik, pemanasan, transportasi, dan industri. Perubahan fungsi lahan seperti penggundulan hutan (deforestasi) dan pertanian juga menyumbang besar pada pemanasan global, yakni 18 dan 14 persen. Belakangan, kebutuhan energi untuk transportasi bahkan menggusur kebutuhan untuk aktivitas lainnya.

Emiten terbesar gas rumah kaca sekarang ini masih negara-negara maju, yakni Ameria Serikat (AS) dan Uni Eropa. Negara-negara maju secara bersama-sama bertanggung jawab atas sekitar 79 persen emisi gas rumah kaca global dalam 50 tahun terakhir.

Namun, posisi negara maju sebagai pencemar biosfir ini diperkirakan Stern sudah akan tergusur oleh kelompok negara berkembang dalam satu dekade atau lebih mendatang. Dan dalam 20-25 tahun ke depan, sekitar 70 persen emisi gas rumah kaca diperkirakan akan disumbangkan oleh negara-negara berkembang sekarang ini.

Meningkat dua kali

PricewaterhouseCoopers memperkirakan produksi CO2 global akan meningkat dua kali lipat lebih dari yang sekarang pada tahun 2050 jika negara-negara di dunia ini tidak melakukan apa-apa (business as usual).

Berdasarkan beberapa skenario model yang dibuatnya, Stern mempredikasikan bakal terjadi pemangkasan pertumbuhan ekonomi global hingga 3 persen jika temperatur global meningkat hingga 2-3 derajat Celsius, dibandingkan jika tidak ada perubahan iklim. Jika temperatur naik hingga 5 derajat Celsius, penurunan ekonomi bisa sampai 10 persen.

Skenario terburuk adalah jika negara-negara di dunia ini tidak melakukan apa pun untuk menekan tingkat emisi gas rumah kaca. Berdasarkan skenario terburuk ini, perekonomian global berisiko mengalami pemangkasan pertumbuhan yang sifatnya permanen hingga 20 persen dibandingkan jika tidak ada pemanasan global. Itu artinya rata-rata penduduk dunia akan 20 persen lebih miskin dibandingkan yang seharusnya.

Stern sendiri memperkirakan kemungkinan besar kenaikan suhu bisa mencapai 5-6 derajat Celsius dalam satu abad mendatang. Sedangkan biaya (cost) yang harus ditanggung perekonomian global mencapai 9 triliun dollar AS.

Artinya, dampaknya jauh lebih dahsyat dari dampak gabungan dua Perang Dunia atau depresi ekonomi tahun 1930-an. Angka itu belum memperhitungkan dampak pada kesehatan manusia dan lingkungan.

Dan yang menjadi masalah lain, beban dampak pemanasan global ini tidak dibagi secara merata. Rakyat miskin dan negara-negara paling miskin adalah yang paling banyak menanggung kerugian karena ketidaksiapan mereka dan juga karena ketergantungan kehidupan mereka pada kondisi cuaca selama ini.

Prediksi Stern itu kurang lebih sejalan dengan perkiraan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC). Menurut IPCC, stabilisasi konsentrasi CO2 pada level antara 445-535 part per million (ppm) yang sekarang akan memangkas pertumbuhan ekonomi global hingga 3 persen.

Kalangan perusahaan asuransi global yang mengelola 26 triliun dollar AS aset perusahaan dunia, termasuk industri bahan bakar fosil, memperkirakan kerugian per tahun akibat pemanasan global pada dekade mendatang bisa mencapai 150 miliar dollar AS per tahun, atau lima kali lipat pendapatan total penduduk Nigeria per tahun.

Seperti Stern, Andrew Dlugolenski yang ikut menyusun laporan IPCC juga melihat dampak ekonomi akan paling berat dihadapi oleh negara Dunia Ketiga seperti Banglades, sebagian wilayah India seperti Mumbai, dan Indonesia, antara lain karena garis pantai yang rendah.

IPCC Working Group II memperkirakan 75 juta-250 juta penduduk di berbagai wilayah Benua Afrika akan menghadapi kelangkaan pasokan air pada tahun 2020. Kelaparan juga akan meluas. Di Asia Timur dan Asia Tenggara, produksi pertanian diperkirakan akan meningkat 20 persen, namun sebaliknya di Asia Selatan dan Asia Tengah merosot sekitar 30 persen.

Area pertanian yang mendapatkan hujan berkurang separuhnya di Afrika hingga 2020. Sekitar 20-40 persen spesies satwa dan tanaman terancam punah jika suhu meningkat 1,5-2,5 derajat Celsius. Menurut IPCC, emisi gas rumah kaca meningkat 70 persen sejak 1970 dan akan meningkat 25-90 persen dalam 25 tahun ke depan.

Akan tetapi, sekali lagi, perkiraan kondisi di atas adalah jika dunia tidak melakukan tindakan apa-apa dan bersikap business as usual. Berdasarkan model yang dikembangkan Stern, mimpi buruk itu hanya bisa dicegah jika ada tindakan secara simultan dari seluruh masyarakat dunia untuk melakukan mitigasi dan antisipasi.

Saling tuding

Dalam perhitungan dia, biaya yang diperlukan untuk melakukan pencegahan ini jauh lebih murah ketimbang konsekuensi yang harus ditanggung jika upaya-upaya itu tidak dilakukan.

Untuk menjaga stabilitas konsentrasi gas rumah kaca pada level yang sekarang dalam 20 tahun ke depan atau memangkas emisi tahunan sedikitnya 25 persen pada tahun 2050, misalnya, menurut dia, hanya diperlukan biaya sebesar 1 persen dari PDB setiap tahun. Jumlah ini kira-kira sama dengan belanja dunia untuk iklan atau separuh dari biaya yang harus dikeluarkan untuk memerangi pandemik flu global.

Namun, dalam praktiknya ternyata itu tidak mudah. Meski sudah ada berbagai konvensi dan kesepakatan internasional yang mengikat secara hukum negara-negara yang menandatanganinya, perilaku warga dunia hingga sekarang hampir tidak berubah. Yang terjadi adalah sikap saling tuding dan menunggu (wait and see).

Salah satu kendala utama upaya mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca adalah karena beberapa negara yang menjadi emiten terbesar gas rumah kaca sebagai biang kerok pemanasan global, sekarang ini belum terikat dalam kerangka kesepakatan atau konvensi global tersebut.

Termasuk di sini adalah AS sebagai perekonomian terbesar dan produsen CO2 terbesar dunia, yang hingga sekarang menolak menandatangani Protokol Kyoto yang dimaksudkan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca hingga 5 persen dari tahun 1990 pada periode 2008-2012.

Selain itu juga negara-negara seperti China dan India, yang juga masuk dalam daftar 16 negara produsen terbesar CO2 di dunia. Negara-negara berkembang yang sedang pada puncak pertumbuhan ini umumnya enggan untuk sedikit mengerem pertumbuhan ekonomi mereka, antara lain karena angka kemiskinan yang masih tinggi.

Sebagai negara berkembang, negara-negara ini belum menjadi target dari kesepakatan Kyoto. Emisi gas rumah kaca China memang masih kalah dibandingkan AS, yakni 10.500 pon per kapita, sementara AS hampir 42.500 pon per kapita, melonjak tajam dari sebelumnya seperenam dari rata-rata AS.

Namun, dengan penduduk 1,3 miliar jiwa (empat kali lipat lebih dari penduduk AS) dan pertumbuhan ekonomi sekitar 10 persen per tahun—tanpa ada tanda-tanda bakal melambat—dalam 25 tahun terakhir, China berpotensi menjadi penyumbang terbesar pemanasan global.

Hanya soal waktu bagi China untuk menyalip AS sebagai penyumbang utama emisi CO2. Sekarang ini, menurut Netherlands Environmental Assessment Agency dari Belanda, emisi CO2 China bahkan sudah menyalip AS, yakni 7,5 persen di atas AS pada 2006, dengan produksi CO2 mencapai 6,23 miliar metrik ton, sementara AS 5,8 miliar merik ton. Padahal, tahun sebelumnya, masih 2 persen lebih rendah.

Lonjakan emisi ini terutama karena konsumsi batu bara dan produksi semen. China sekarang ini masih mengandalkan dua pertiga kebutuhan energinya pada batu bara dan menyumbang 44 persen produksi semen dunia.

Dengan kemajuan ekonomi dan meningkatnya kemakmuran masyarakatnya, emisi akan meningkat sehingga bukan tidak mungkin China bakal mencekik seluruh planet Bumi. Rata-rata setiap 3-4 hari sekali, negara ini menambah satu pembangkit tenaga listrik baru bertenaga batu bara yang mencekoki atmosfer dengan semburan berton-ton sulfur.

Sementara untuk India, meskipun negara itu sekarang ini hanya menyumbang 5 persen dari emisi global, pertumbuhan pesat ekonomi dan penduduknya diperkirakan World Resources Institute berpotensi meningkatkan emisi CO2 hingga 70 persen pada 2025.

Keengganan China dan China mengerem emisi CO2 juga dilatari pandangan mereka bahwa negara-negara majulah sebenarnya yang paling bertanggung jawab atas terjadinya pemanasan global, sehingga sudah semestinya negara maju seperti AS yang harus lebih dahulu bertindak.

No comments: