element




StopGlobalWarming.org

site statistics

Sunday, August 19, 2007

Banjir di Korea Utara Tewaskan 221 Orang

Seoul, Jumat - Hujan deras dan banjir yang melanda Korea Utara menyebabkan sedikitnya 221 orang tewas dan 82 orang lainnya hilang. Banjir juga menyebabkan lebih dari 80.000 rumah rusak dan memaksa lebih dari 350.000 orang mengungsi.

Banjir juga menghancurkan 400 bangunan komersial, merendam 20 tambang, dan memutus jalur kereta api di 43 tempat. Kantor berita Korean Central News Agency, Jumat (17/8), melaporkan, tambang batu bara, yang merupakan sumber daya alam utama, mengalami kerusakan parah.

Disebutkan, sebanyak 144.000 ton batu bara hancur, 300 tambang rusak, dan ratusan peralatan pertambangan terendam. Sebanyak 11 persen, atau setara dengan 450.000 ton, hasil panen hancur akibat banjir.

Meskipun kesulitan, Palang Merah Internasional berhasil menyalurkan bantuan berupa peralatan memasak, selimut, dan tablet pemurni air kepada 80 persen keluarga yang terkena dampak banjir. Program Pangan Dunia (WFP) juga sedang berusaha mengirimkan bantuan makanan kepada pengungsi.

Korea Selatan, Jumat, memastikan pengiriman paket bantuan senilai 7,1 miliar won (7,5 juta dollar AS) ke Korea Utara (Korut). "Mengingat betapa seriusnya kerusakan yang ditimbulkan, pemerintah memutuskan untuk memberikan bantuan pemulihan dengan alasan kemanusiaan," kata Menteri Unifikasi Korea Selatan Lee Jae-joung.

Washington juga menjanjikan bantuan senilai 100.000 dollar AS untuk membantu korban banjir. Lembaga bantuan German Agro Action juga akan mengirimkan 335.000 dollar AS untuk membantu korban banjir di Korut. Bantuan itu berupa makanan, tablet pemurni air, dan peralatan memasak bagi 50.000 orang.

Korut masih bergantung pada bantuan asing untuk memberi makan 23 juta rakyatnya sejak kekacauan ekonomi yang melanda negara itu pada 1990-an.

Topan Sepat

Setelah menghantam Filipina dan menyebabkan banjir, Topan Sepat menghantam Taiwan, Jumat. Gelombang pasang, angin kencang, dan hujan deras menerjang wilayah utara Taiwan. Seluruh penerbangan domestik dan internasional di Bandara Internasional Taoyuan dibatalkan.

Otoritas pelabuhan Taiwan menyatakan, feri penyeberangan dari Pulau Kinmen dan kota-kota di China seperti Xiamen dan Chuanzhou dibatalkan, Jumat. Kantor-kantor dan sekolah-sekolah di kota Hualien dan Taitung diperintahkan tutup.

"Sudah terjadi angin kencang dan gelombang yang menghantam pantai sangat berbahaya. Penduduk di sini bersiap-siap menghindari badai," kata Fei Yu, warga kota Taitung.

Topan Sepat kemungkinan akan menghantam kota Kaohsiung dan Taichung, Sabtu pagi, kemudian menuju pantai China. Pusat topan kategori lima itu berada 320 kilometer (km) lepas pantai Taiwan, memicu angin dengan kecepatan 184 km per jam dan embusan kencang hingga kecepatan 227 km per jam.

Topan Sepat berasal dari air hangat di Pasifik Selatan dan Laut China Selatan. Topan itu secara teratur menghantam China, Jepang, Filipina, Taiwan, dan Hongkong pada musim panas.

Di Filipina, Topan Sepat masih menyisakan hujan deras di Manila dan provinsi sekitarnya, Jumat. Air masih menggenangi jalan-jalan hingga setinggi 1,5 meter. Sekolah masih tutup dan kantor pemerintah menghentikan kegiatan pada pukul 13.00.

Beberapa wilayah di Manila masih terendam air setinggi pinggang. Listrik juga masih padam.

Di Amerika Tengah, Topan Dean juga menghantam Kepulauan Karibia dan sedang menuju ke Teluk Meksiko.

Gelombang panas

Dari Amerika Serikat dilaporkan, gelombang panas memanggang wilayah tengah dan selatan dalam 10 hari terakhir. Sedikitnya 37 orang dilaporkan tewas dan puluhan orang cedera akibat gelombang panas.

Di Memphis, suhu dilaporkan mencapai 40,5 derajat Celsius. Di bagian utara Arkansas, suhu udara mencapai 44,4 derajat Celsius.

Di Alabama, suhu yang sangat panas memaksa otoritas menutup satu dari tiga reaktor nuklir di Browns Ferry karena air Sungai Tennessee yang digunakan untuk mendinginkan reaktor terlalu panas.

"Kami tidak percaya bahwa kami menutup reaktor nuklir karena suhu air sungai yang terlalu panas," kata John Moulton, juru bicara fasilitas nuklir. Air Sungai Tennessee telah mencapai 32,2 derajat Celsius dalam 24 jam terakhir.

Penutupan reaktor nuklir itu tidak mengancam keselamatan, tetapi menyebabkan padamnya listrik di sebagian besar wilayah Tennessee, sebagian wilayah Alabama, Mississippi, Kentucky, Georgia, North Carolina, dan Virginia.

Departemen Kesehatan dan Pelayanan Publik Negara Bagian Missouri menyatakan, gelombang panas telah mengakibatkan sembilan orang tewas. Delapan orang di Illinois juga dilaporkan tewas akibat gelombang panas.

Para dokter memperingatkan, tekanan akibat gelombang panas bisa menyebabkan mual, pusing, sakit kepala, kram, dan muntah. Gejala-gejala itu merupakan tanda-tanda dehidrasi.

"Setelah lima atau enam hari, Anda akan melihat lebih banyak orang mengalami dehidrasi," kata dokter Franc Fenaughty, seorang dokter di Memphis.(ap/afp/reuters/fro)

12 Tewas Akibat Udara Panas di Jepang

Tokyo (ANTARA News) - Sedikitnya 12 warga Jepang tewas dan 123 lainnya terpaksa dibawa ke rumah sakit setempat, menyusul udara panas yang mencapai 41 derajat Celsius melanda negeri Jepang.

Sementara itu, Badan Meteorologi Jepang di Tokyo, Jumat, memperkirakan musim panas dengan suhu yang mencapai 35 derajat Celsius lebih masih akan terus melanda negara kepulauan tersebut.

Udara panas tersebut masih akan terus berlangsung di sejumlah daerah di bagian tengah wilayah Jepang dan Okinawa, terutama daerah yang langsung berhadapan dengan Lautan Pasifik. Sebagian besar lainnya, terutama yang menghadap ke Laut Jepang masih berada di bawah 35 derajat.

Kyodo melaporkan bahwa para korban yang meninggal terdapat di daerah Tajimi, Propinsi Gifu, Kumagaya, dan Propinsi Saitama dengan catatan suhu tertinggi 40,9 derajat, memecahkan rekor suhu sebelumnya yang terjadi di Propinsi Yamagata, yakni 40,8 derajat pada tahun 1933.

Lima orang di antaranya meninggal di Saitama, dua warga lagi, masing-masing di Tokyo dan di Gunma. Satu orang meninggal di Akita, Propinsi Aichi dan seorang lagi juga tewas di Kyoto. Tiga lainnya meningal akibat stroke Kamis (16/8) lalu. Sedangkan 123 warga Tokyo terpaksa dibawa ke rumah sakit.

Kota-kota yang suhu panasnya mencapai 40 derajat lebih antara lain, kota Tatebayashi di Propinsi Gunma, Saitama, Gifu dan Gunma, termasuk di Tajimi and Kumagaya. Sementara di Tokyo sendiri rata-rata mencapai 35 derajat, dengan suhu tertinggi 38,7 derajat.

Udara panas yang melanda Jepang membuat warga Negeri Sakura itu menyerbu lokasi pantai, dan tempat-tempat hiburan atau Mal yang memiliki fasilitas kolam renang dan pendingin ruangan yang luas. Pilihan lainnya adalah melakukan perjalanan ke luar negeri, mengingat saat ini libur musim panas.

ANTARA News berkesempatan mengunjungi salah satu lokasi pantai terkenal di Jepang, yaitu pantai Shonan di kota Fujisawa, setengah jam naik kereta api dari Yokohama. Pantai yang menjulur panjang tersebut sangat ramai dikunjungi pada musim panas.

Karena padatnya hampir setiap jengkal tanah di pantai itu dipenuhi oleh orang-orang yang berjemur dan juga bermain pasir di tepi pantai. Selain berenang di sekeliling pantai, pengunjung juga dapat melihat sebagian puncak gunung Fuji. Selain beranag, warga juga bermain jet ski, para-sailing.

Musim panas di Jepang berlangsung selama tiga bulan yang dimulai Juli lalu dan akan berakhir September mendatang. Sebelum berlangsung musim panas, biasanya akan didahului dengan musim hujan selama sebulan. Pada September, Jepang biasanya sering dilanda ancaman angin topan (typhoon).

Negara kepulauan ini memiliki empat musim, yakni musim semi, musim panas, musim gugur, dan musim dingin. Musim semi dan musim gugur merupakan musim terbaik sepanjang tahun.(*)

Saturday, August 11, 2007

Gempa Kembali Guncang Jawa : 7 skala richter


DUA warga membereskan perabotan di bagian dapur rumah Ny. Nuraida di Kp. Bagbagan, Desa Citarik, Kecamatan Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, yang ambruk diguncang gempa, Kamis (9/8) dini hari.

BANDUNG, (PR).-
Puluhan bangunan, baik rumah maupun sekolah, di beberapa kota di Jawa Barat, mengalami kerusakan menyusul terjadinya gempa bumi tektonik, Kamis (9/8) dini hari. Gempa yang berkekuatan 7 pada skala Richter itu menyebabkan seorang tewas karena yang bersangkutan panik dan kemudian terjatuh, dalam upayanya mencari tempat aman.
DUA warga membereskan perabotan di bagian dapur rumah Ny. Nuraida di Kp. Bagbagan, Desa Citarik, Kecamatan Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, yang ambruk diguncang gempa, Kamis (9/8) dini hari.* ADANG JUKARDI/"PR"

Sementara itu, gempa bumi juga kembali mengguncang Pangandaran, Kab. Ciamis dan Cilacap Jawa Tengah dengan kekuatan 5 pada skala Richter (SR), Kamis (9/8), pukul 22.02 WIB. Gempa berpusat di lokasi 99 km arah tenggara Cilacap. "Pusat gempa sama dengan gempa yang menyebabkan tsunami di Pangandaran, beberapa waktu lalu," kata petugas Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Cilacap, Dwi.

Menurut dia, pusat gempa berada di kedalaman 30 km, tepatnya di posisi 8.61 LS - 109.05 BT. Sejauh ini, gempa tidak sampai menimbulkan kerusakan, baik di Pangandaran maupun di Cilacap. Tingkat getaran 2-3 MMI.

Belum ada laporan

Sementara itu, Wakil Gubernur Jabar Nu'man Abdul Hakim yang juga Ketua Pelaksana Harian Satkorlak Jabar, sampai Kamis (9/8) siang, belum menerima laporan kerusakan ataupun kejadian lain dari daerah-daerah di Jabar, setelah terjadinya gempa dini hari kemarin.

"Walaupun memang dampaknya dirasakan di hampir semua daerah, bahkan juga di Jakarta, Lampung, dan Jateng, tetapi pusat gempanya memang sangat jauh di kedalaman laut. Sampai hari ini (Kamis, 9/8), tidak ada laporan tentang kejadian luar biasa dari daerah," ungkap Nu'man di Gedung Sate Jln. Diponegoro Bandung, kemarin.

Berdasarkan pemantauan "PR", kerusakan yang menimpa sejumlah rumah dan sekolah itu terjadi di Kab. Tasikmalaya, Kab. Sukabumi, dan Kab. Ciamis. Di Indramayu, tiga dari lima Steam Turbin Generator (STG) yang ada di kilang Unit Pengolahan VI Pertamina Balongan, tiba-tiba mati. Sementara di kota lainnya, kerusakan yang terjadi relatif tidak begitu parah.

Di Tasikmalaya, tiga ruangan sekolah dasar (SD) di Giri Atikan, Desa Pedangkamulyan, Kec. Bojonggambir, Kab. Tasikmalaya, ambruk. Selain itu, belasan rumah mengalami rusak dan reta-retak di Kec. Bojonggambir, Cikalong, Cibalong, dan Cipatujah.

Akibat tiga lokal SD Giri Atikan ambruk, sebanyak 70 siswa yang terdiri atas kelas IV, V, dan VI terpaksa diungsikan untuk proses belajar-mengajarnya ke Balai Desa Pedangkamulyan, dan dua lokal di Madrasah Ibtidaiah. "Bangunan sekolah Giri Atikan ini ambruk, dan bangunan lainnya retak-retak. Saya melihat, murid SD tersebut dialihkan ke bale desa dan MI," kata Cucu Rasman, tokoh masyarakat setempat kepada "PR" lewat sambungan telefon.

Sementara rumah yang rusak di Bojonggambir mencapai sepuluh unit, yaitu 5 rumah di Desa Girimukti, 3 rumah di Desa Kertanegla, dan 2 lainnya di Desa Wandasari. Kerusakannya, berupa dinding rumah yang mengalami retak-retak, serta gentingnya berjatuhan. Di daerah Cipatujah, kata Camat Cipatujah Sunaryo, ketika gempa terjadi, ribuan warga dari Desa Ciandum, Cipatujah, dan Sindangkerta yang berada tidak jauh dari pantai, berlarian keluar dari rumah.

Mereka berlari ke kebun karet yang tempatnya lebih tinggi. Kepanikan ini terjadi karena dikhawatirkan gempa tersebut menimbulkan tsunami, sebagaimana terjadi setahun lalu. "Kami semua panik karena kekuatan gempa cukup besar. Semua warga berlarian ke daerah yang lebih tinggi, mencari tempat yang aman. Setelah mengetahui bahwa titik gempa berada di Indramayu, sekitar pukul 3.00 WIB, kami semua turun kembali ke rumah masing-masing," kata Sunaryo.

Suara gemuruh

Di Kab. Sukabumi, kerusakan menimpa rumah milik Ny. Nuraida (60), warga Kampung Bagbagan RT 02/RW 09, Desa Citarik, Kec. Palabuhanratu. Sementara satu lokal ruang kelas di SDN Pasirmalang, Kp. Cibeunteur, Desa Kadaleuman, Kec. Surade, bagian atapnya ambruk. Dua bangunan rumah dan sekolah tersebut, rusak dan ambruk ketika gempa terjadi.

Kepala Desa Citarik H. Moch. Gumilang menyebutkan, kerusakan yang menimpa rumah Nuraida, bagian atap dapurnya ambruk hingga menimpa barang-barang dan peralatan dapurnya. Untungnya, pada saat kejadian penghuni rumah yakni Ny. Nuraida, Susi (40/anaknya) dan Yolanda (1/cucunya) sudah menyelamatkan diri keluar rumah. Kerugian materi ditaksir Rp 10 juta.

"Sedangkan di Kab. Ciamis, gempa itu mengakibatkan dua rumah di RT 26 RW 6 Dusun Tangkeban, Desa/Kecamatan Purwadadi rusak parah. Kedua pemilik rumah, Basiran (40) dan Salijo (42), menderita kerugian sekitar Rp 20 juta.

Sementara korban tewas dalam kejadian gempa itu bernama Tursinah (34), warga Kampung Cimahpar RT 04/03 Kec. Bogor Utara Kota Bogor. Ibu dari empat anak itu terjatuh saat berusaha menyelamatkan anak bungsunya yang masih berusia 3 bulan.

Wednesday, August 8, 2007

DAMPAK EKONOMI Lebih Dahsyat dari Perang Dunia

dikutip dari kompas.com: Sri Hartati Samhadi

Selain dampak ke kehidupan manusia dan lingkungan, dampak paling menakutkan dari fenomena pemanasan global adalah terhadap perekonomian. Dampak pemanasan global terhadap perekonomian dunia bisa jauh lebih parah dari kerusakan yang diakibatkan oleh kombinasi dua Perang Dunia dan depresi ekonomi dunia tahun 1930-an.

Emisi gas rumah kaca sekarang ini tak bisa dilepaskan dari aktivitas ekonomi. Data yang diungkapkan mantan ekonom Bank Dunia, Nicholas Stern, emisi karbon dioksida (CO>sub<2>res<>res<) selama ini sebagian besar bersumber dari penggunaan energi berbahan bakar fosil yang sangat berperan besar dalam menopang kegiatan dan pertumbuhan ekonomi di seluruh dunia.

Ironisnya, bahan bakar fosil yang mencemari lingkungan ini diperkirakan masih akan menjadi sumber energi yang dominan bagi dunia hingga beberapa dekade ke depan.

Penggunaan energi ini terutama (61 persen) untuk pembangkit listrik, pemanasan, transportasi, dan industri. Perubahan fungsi lahan seperti penggundulan hutan (deforestasi) dan pertanian juga menyumbang besar pada pemanasan global, yakni 18 dan 14 persen. Belakangan, kebutuhan energi untuk transportasi bahkan menggusur kebutuhan untuk aktivitas lainnya.

Emiten terbesar gas rumah kaca sekarang ini masih negara-negara maju, yakni Ameria Serikat (AS) dan Uni Eropa. Negara-negara maju secara bersama-sama bertanggung jawab atas sekitar 79 persen emisi gas rumah kaca global dalam 50 tahun terakhir.

Namun, posisi negara maju sebagai pencemar biosfir ini diperkirakan Stern sudah akan tergusur oleh kelompok negara berkembang dalam satu dekade atau lebih mendatang. Dan dalam 20-25 tahun ke depan, sekitar 70 persen emisi gas rumah kaca diperkirakan akan disumbangkan oleh negara-negara berkembang sekarang ini.

Meningkat dua kali

PricewaterhouseCoopers memperkirakan produksi CO2 global akan meningkat dua kali lipat lebih dari yang sekarang pada tahun 2050 jika negara-negara di dunia ini tidak melakukan apa-apa (business as usual).

Berdasarkan beberapa skenario model yang dibuatnya, Stern mempredikasikan bakal terjadi pemangkasan pertumbuhan ekonomi global hingga 3 persen jika temperatur global meningkat hingga 2-3 derajat Celsius, dibandingkan jika tidak ada perubahan iklim. Jika temperatur naik hingga 5 derajat Celsius, penurunan ekonomi bisa sampai 10 persen.

Skenario terburuk adalah jika negara-negara di dunia ini tidak melakukan apa pun untuk menekan tingkat emisi gas rumah kaca. Berdasarkan skenario terburuk ini, perekonomian global berisiko mengalami pemangkasan pertumbuhan yang sifatnya permanen hingga 20 persen dibandingkan jika tidak ada pemanasan global. Itu artinya rata-rata penduduk dunia akan 20 persen lebih miskin dibandingkan yang seharusnya.

Stern sendiri memperkirakan kemungkinan besar kenaikan suhu bisa mencapai 5-6 derajat Celsius dalam satu abad mendatang. Sedangkan biaya (cost) yang harus ditanggung perekonomian global mencapai 9 triliun dollar AS.

Artinya, dampaknya jauh lebih dahsyat dari dampak gabungan dua Perang Dunia atau depresi ekonomi tahun 1930-an. Angka itu belum memperhitungkan dampak pada kesehatan manusia dan lingkungan.

Dan yang menjadi masalah lain, beban dampak pemanasan global ini tidak dibagi secara merata. Rakyat miskin dan negara-negara paling miskin adalah yang paling banyak menanggung kerugian karena ketidaksiapan mereka dan juga karena ketergantungan kehidupan mereka pada kondisi cuaca selama ini.

Prediksi Stern itu kurang lebih sejalan dengan perkiraan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC). Menurut IPCC, stabilisasi konsentrasi CO2 pada level antara 445-535 part per million (ppm) yang sekarang akan memangkas pertumbuhan ekonomi global hingga 3 persen.

Kalangan perusahaan asuransi global yang mengelola 26 triliun dollar AS aset perusahaan dunia, termasuk industri bahan bakar fosil, memperkirakan kerugian per tahun akibat pemanasan global pada dekade mendatang bisa mencapai 150 miliar dollar AS per tahun, atau lima kali lipat pendapatan total penduduk Nigeria per tahun.

Seperti Stern, Andrew Dlugolenski yang ikut menyusun laporan IPCC juga melihat dampak ekonomi akan paling berat dihadapi oleh negara Dunia Ketiga seperti Banglades, sebagian wilayah India seperti Mumbai, dan Indonesia, antara lain karena garis pantai yang rendah.

IPCC Working Group II memperkirakan 75 juta-250 juta penduduk di berbagai wilayah Benua Afrika akan menghadapi kelangkaan pasokan air pada tahun 2020. Kelaparan juga akan meluas. Di Asia Timur dan Asia Tenggara, produksi pertanian diperkirakan akan meningkat 20 persen, namun sebaliknya di Asia Selatan dan Asia Tengah merosot sekitar 30 persen.

Area pertanian yang mendapatkan hujan berkurang separuhnya di Afrika hingga 2020. Sekitar 20-40 persen spesies satwa dan tanaman terancam punah jika suhu meningkat 1,5-2,5 derajat Celsius. Menurut IPCC, emisi gas rumah kaca meningkat 70 persen sejak 1970 dan akan meningkat 25-90 persen dalam 25 tahun ke depan.

Akan tetapi, sekali lagi, perkiraan kondisi di atas adalah jika dunia tidak melakukan tindakan apa-apa dan bersikap business as usual. Berdasarkan model yang dikembangkan Stern, mimpi buruk itu hanya bisa dicegah jika ada tindakan secara simultan dari seluruh masyarakat dunia untuk melakukan mitigasi dan antisipasi.

Saling tuding

Dalam perhitungan dia, biaya yang diperlukan untuk melakukan pencegahan ini jauh lebih murah ketimbang konsekuensi yang harus ditanggung jika upaya-upaya itu tidak dilakukan.

Untuk menjaga stabilitas konsentrasi gas rumah kaca pada level yang sekarang dalam 20 tahun ke depan atau memangkas emisi tahunan sedikitnya 25 persen pada tahun 2050, misalnya, menurut dia, hanya diperlukan biaya sebesar 1 persen dari PDB setiap tahun. Jumlah ini kira-kira sama dengan belanja dunia untuk iklan atau separuh dari biaya yang harus dikeluarkan untuk memerangi pandemik flu global.

Namun, dalam praktiknya ternyata itu tidak mudah. Meski sudah ada berbagai konvensi dan kesepakatan internasional yang mengikat secara hukum negara-negara yang menandatanganinya, perilaku warga dunia hingga sekarang hampir tidak berubah. Yang terjadi adalah sikap saling tuding dan menunggu (wait and see).

Salah satu kendala utama upaya mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca adalah karena beberapa negara yang menjadi emiten terbesar gas rumah kaca sebagai biang kerok pemanasan global, sekarang ini belum terikat dalam kerangka kesepakatan atau konvensi global tersebut.

Termasuk di sini adalah AS sebagai perekonomian terbesar dan produsen CO2 terbesar dunia, yang hingga sekarang menolak menandatangani Protokol Kyoto yang dimaksudkan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca hingga 5 persen dari tahun 1990 pada periode 2008-2012.

Selain itu juga negara-negara seperti China dan India, yang juga masuk dalam daftar 16 negara produsen terbesar CO2 di dunia. Negara-negara berkembang yang sedang pada puncak pertumbuhan ini umumnya enggan untuk sedikit mengerem pertumbuhan ekonomi mereka, antara lain karena angka kemiskinan yang masih tinggi.

Sebagai negara berkembang, negara-negara ini belum menjadi target dari kesepakatan Kyoto. Emisi gas rumah kaca China memang masih kalah dibandingkan AS, yakni 10.500 pon per kapita, sementara AS hampir 42.500 pon per kapita, melonjak tajam dari sebelumnya seperenam dari rata-rata AS.

Namun, dengan penduduk 1,3 miliar jiwa (empat kali lipat lebih dari penduduk AS) dan pertumbuhan ekonomi sekitar 10 persen per tahun—tanpa ada tanda-tanda bakal melambat—dalam 25 tahun terakhir, China berpotensi menjadi penyumbang terbesar pemanasan global.

Hanya soal waktu bagi China untuk menyalip AS sebagai penyumbang utama emisi CO2. Sekarang ini, menurut Netherlands Environmental Assessment Agency dari Belanda, emisi CO2 China bahkan sudah menyalip AS, yakni 7,5 persen di atas AS pada 2006, dengan produksi CO2 mencapai 6,23 miliar metrik ton, sementara AS 5,8 miliar merik ton. Padahal, tahun sebelumnya, masih 2 persen lebih rendah.

Lonjakan emisi ini terutama karena konsumsi batu bara dan produksi semen. China sekarang ini masih mengandalkan dua pertiga kebutuhan energinya pada batu bara dan menyumbang 44 persen produksi semen dunia.

Dengan kemajuan ekonomi dan meningkatnya kemakmuran masyarakatnya, emisi akan meningkat sehingga bukan tidak mungkin China bakal mencekik seluruh planet Bumi. Rata-rata setiap 3-4 hari sekali, negara ini menambah satu pembangkit tenaga listrik baru bertenaga batu bara yang mencekoki atmosfer dengan semburan berton-ton sulfur.

Sementara untuk India, meskipun negara itu sekarang ini hanya menyumbang 5 persen dari emisi global, pertumbuhan pesat ekonomi dan penduduknya diperkirakan World Resources Institute berpotensi meningkatkan emisi CO2 hingga 70 persen pada 2025.

Keengganan China dan China mengerem emisi CO2 juga dilatari pandangan mereka bahwa negara-negara majulah sebenarnya yang paling bertanggung jawab atas terjadinya pemanasan global, sehingga sudah semestinya negara maju seperti AS yang harus lebih dahulu bertindak.

DAMPAK EKONOMI Lebih Dahsyat dari Perang Dunia


dikutip dari kompas.com: Sri Hartati Samhadi

Selain dampak ke kehidupan manusia dan lingkungan, dampak paling menakutkan dari fenomena pemanasan global adalah terhadap perekonomian. Dampak pemanasan global terhadap perekonomian dunia bisa jauh lebih parah dari kerusakan yang diakibatkan oleh kombinasi dua Perang Dunia dan depresi ekonomi dunia tahun 1930-an.

Emisi gas rumah kaca sekarang ini tak bisa dilepaskan dari aktivitas ekonomi. Data yang diungkapkan mantan ekonom Bank Dunia, Nicholas Stern, emisi karbon dioksida (CO>sub<2>res<>res<) selama ini sebagian besar bersumber dari penggunaan energi berbahan bakar fosil yang sangat berperan besar dalam menopang kegiatan dan pertumbuhan ekonomi di seluruh dunia.

Ironisnya, bahan bakar fosil yang mencemari lingkungan ini diperkirakan masih akan menjadi sumber energi yang dominan bagi dunia hingga beberapa dekade ke depan.

Penggunaan energi ini terutama (61 persen) untuk pembangkit listrik, pemanasan, transportasi, dan industri. Perubahan fungsi lahan seperti penggundulan hutan (deforestasi) dan pertanian juga menyumbang besar pada pemanasan global, yakni 18 dan 14 persen. Belakangan, kebutuhan energi untuk transportasi bahkan menggusur kebutuhan untuk aktivitas lainnya.

Emiten terbesar gas rumah kaca sekarang ini masih negara-negara maju, yakni Ameria Serikat (AS) dan Uni Eropa. Negara-negara maju secara bersama-sama bertanggung jawab atas sekitar 79 persen emisi gas rumah kaca global dalam 50 tahun terakhir.

Namun, posisi negara maju sebagai pencemar biosfir ini diperkirakan Stern sudah akan tergusur oleh kelompok negara berkembang dalam satu dekade atau lebih mendatang. Dan dalam 20-25 tahun ke depan, sekitar 70 persen emisi gas rumah kaca diperkirakan akan disumbangkan oleh negara-negara berkembang sekarang ini.

Meningkat dua kali

PricewaterhouseCoopers memperkirakan produksi CO2 global akan meningkat dua kali lipat lebih dari yang sekarang pada tahun 2050 jika negara-negara di dunia ini tidak melakukan apa-apa (business as usual).

Berdasarkan beberapa skenario model yang dibuatnya, Stern mempredikasikan bakal terjadi pemangkasan pertumbuhan ekonomi global hingga 3 persen jika temperatur global meningkat hingga 2-3 derajat Celsius, dibandingkan jika tidak ada perubahan iklim. Jika temperatur naik hingga 5 derajat Celsius, penurunan ekonomi bisa sampai 10 persen.

Skenario terburuk adalah jika negara-negara di dunia ini tidak melakukan apa pun untuk menekan tingkat emisi gas rumah kaca. Berdasarkan skenario terburuk ini, perekonomian global berisiko mengalami pemangkasan pertumbuhan yang sifatnya permanen hingga 20 persen dibandingkan jika tidak ada pemanasan global. Itu artinya rata-rata penduduk dunia akan 20 persen lebih miskin dibandingkan yang seharusnya.

Stern sendiri memperkirakan kemungkinan besar kenaikan suhu bisa mencapai 5-6 derajat Celsius dalam satu abad mendatang. Sedangkan biaya (cost) yang harus ditanggung perekonomian global mencapai 9 triliun dollar AS.

Artinya, dampaknya jauh lebih dahsyat dari dampak gabungan dua Perang Dunia atau depresi ekonomi tahun 1930-an. Angka itu belum memperhitungkan dampak pada kesehatan manusia dan lingkungan.

Dan yang menjadi masalah lain, beban dampak pemanasan global ini tidak dibagi secara merata. Rakyat miskin dan negara-negara paling miskin adalah yang paling banyak menanggung kerugian karena ketidaksiapan mereka dan juga karena ketergantungan kehidupan mereka pada kondisi cuaca selama ini.

Prediksi Stern itu kurang lebih sejalan dengan perkiraan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC). Menurut IPCC, stabilisasi konsentrasi CO2 pada level antara 445-535 part per million (ppm) yang sekarang akan memangkas pertumbuhan ekonomi global hingga 3 persen.

Kalangan perusahaan asuransi global yang mengelola 26 triliun dollar AS aset perusahaan dunia, termasuk industri bahan bakar fosil, memperkirakan kerugian per tahun akibat pemanasan global pada dekade mendatang bisa mencapai 150 miliar dollar AS per tahun, atau lima kali lipat pendapatan total penduduk Nigeria per tahun.

Seperti Stern, Andrew Dlugolenski yang ikut menyusun laporan IPCC juga melihat dampak ekonomi akan paling berat dihadapi oleh negara Dunia Ketiga seperti Banglades, sebagian wilayah India seperti Mumbai, dan Indonesia, antara lain karena garis pantai yang rendah.

IPCC Working Group II memperkirakan 75 juta-250 juta penduduk di berbagai wilayah Benua Afrika akan menghadapi kelangkaan pasokan air pada tahun 2020. Kelaparan juga akan meluas. Di Asia Timur dan Asia Tenggara, produksi pertanian diperkirakan akan meningkat 20 persen, namun sebaliknya di Asia Selatan dan Asia Tengah merosot sekitar 30 persen.

Area pertanian yang mendapatkan hujan berkurang separuhnya di Afrika hingga 2020. Sekitar 20-40 persen spesies satwa dan tanaman terancam punah jika suhu meningkat 1,5-2,5 derajat Celsius. Menurut IPCC, emisi gas rumah kaca meningkat 70 persen sejak 1970 dan akan meningkat 25-90 persen dalam 25 tahun ke depan.

Akan tetapi, sekali lagi, perkiraan kondisi di atas adalah jika dunia tidak melakukan tindakan apa-apa dan bersikap business as usual. Berdasarkan model yang dikembangkan Stern, mimpi buruk itu hanya bisa dicegah jika ada tindakan secara simultan dari seluruh masyarakat dunia untuk melakukan mitigasi dan antisipasi.

Saling tuding

Dalam perhitungan dia, biaya yang diperlukan untuk melakukan pencegahan ini jauh lebih murah ketimbang konsekuensi yang harus ditanggung jika upaya-upaya itu tidak dilakukan.

Untuk menjaga stabilitas konsentrasi gas rumah kaca pada level yang sekarang dalam 20 tahun ke depan atau memangkas emisi tahunan sedikitnya 25 persen pada tahun 2050, misalnya, menurut dia, hanya diperlukan biaya sebesar 1 persen dari PDB setiap tahun. Jumlah ini kira-kira sama dengan belanja dunia untuk iklan atau separuh dari biaya yang harus dikeluarkan untuk memerangi pandemik flu global.

Namun, dalam praktiknya ternyata itu tidak mudah. Meski sudah ada berbagai konvensi dan kesepakatan internasional yang mengikat secara hukum negara-negara yang menandatanganinya, perilaku warga dunia hingga sekarang hampir tidak berubah. Yang terjadi adalah sikap saling tuding dan menunggu (wait and see).

Salah satu kendala utama upaya mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca adalah karena beberapa negara yang menjadi emiten terbesar gas rumah kaca sebagai biang kerok pemanasan global, sekarang ini belum terikat dalam kerangka kesepakatan atau konvensi global tersebut.

Termasuk di sini adalah AS sebagai perekonomian terbesar dan produsen CO2 terbesar dunia, yang hingga sekarang menolak menandatangani Protokol Kyoto yang dimaksudkan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca hingga 5 persen dari tahun 1990 pada periode 2008-2012.

Selain itu juga negara-negara seperti China dan India, yang juga masuk dalam daftar 16 negara produsen terbesar CO2 di dunia. Negara-negara berkembang yang sedang pada puncak pertumbuhan ini umumnya enggan untuk sedikit mengerem pertumbuhan ekonomi mereka, antara lain karena angka kemiskinan yang masih tinggi.

Sebagai negara berkembang, negara-negara ini belum menjadi target dari kesepakatan Kyoto. Emisi gas rumah kaca China memang masih kalah dibandingkan AS, yakni 10.500 pon per kapita, sementara AS hampir 42.500 pon per kapita, melonjak tajam dari sebelumnya seperenam dari rata-rata AS.

Namun, dengan penduduk 1,3 miliar jiwa (empat kali lipat lebih dari penduduk AS) dan pertumbuhan ekonomi sekitar 10 persen per tahun—tanpa ada tanda-tanda bakal melambat—dalam 25 tahun terakhir, China berpotensi menjadi penyumbang terbesar pemanasan global.

Hanya soal waktu bagi China untuk menyalip AS sebagai penyumbang utama emisi CO2. Sekarang ini, menurut Netherlands Environmental Assessment Agency dari Belanda, emisi CO2 China bahkan sudah menyalip AS, yakni 7,5 persen di atas AS pada 2006, dengan produksi CO2 mencapai 6,23 miliar metrik ton, sementara AS 5,8 miliar merik ton. Padahal, tahun sebelumnya, masih 2 persen lebih rendah.

Lonjakan emisi ini terutama karena konsumsi batu bara dan produksi semen. China sekarang ini masih mengandalkan dua pertiga kebutuhan energinya pada batu bara dan menyumbang 44 persen produksi semen dunia.

Dengan kemajuan ekonomi dan meningkatnya kemakmuran masyarakatnya, emisi akan meningkat sehingga bukan tidak mungkin China bakal mencekik seluruh planet Bumi. Rata-rata setiap 3-4 hari sekali, negara ini menambah satu pembangkit tenaga listrik baru bertenaga batu bara yang mencekoki atmosfer dengan semburan berton-ton sulfur.

Sementara untuk India, meskipun negara itu sekarang ini hanya menyumbang 5 persen dari emisi global, pertumbuhan pesat ekonomi dan penduduknya diperkirakan World Resources Institute berpotensi meningkatkan emisi CO2 hingga 70 persen pada 2025.

Keengganan China dan China mengerem emisi CO2 juga dilatari pandangan mereka bahwa negara-negara majulah sebenarnya yang paling bertanggung jawab atas terjadinya pemanasan global, sehingga sudah semestinya negara maju seperti AS yang harus lebih dahulu bertindak.

Tuesday, August 7, 2007

kyoto protocol

Kyoto Protocol

The provisions of the Kyoto Protocol and its rulebook
The 1997 Kyoto Protocol shares the Convention’s objective, principles and institutions, but significantly strengthens the Convention by committing Annex I Parties to individual, legally-binding targets to limit or reduce their greenhouse gas emissions. Only Parties to the Convention that have also become Parties to the Protocol (i.e by ratifying, accepting, approving, or acceding to it) will be bound by the Protocol’s commitments. 175 Parties have ratified the Protocol to date. Of these, 36 countries and the EEC are required to reduce greenhouse gas emissions below levels specified for each of them in the treaty. The individual targets for Annex I Parties are listed in the Kyoto Protocol’s Annex B. These add up to a total cut in greenhouse-gas emissions of at least 5% from 1990 levels in the commitment period 2008-2012.

The negotiation of the Kyoto Protocol and its rulebook
When they adopted the Convention, governments knew that its commitments would not be sufficient to seriously tackle climate change. At COP 1 (Berlin, March/April 1995), in a decision known as the Berlin Mandate, Parties therefore launched a new round of talks to decide on stronger and more detailed commitments for industrialized countries. After two and a half years of intense negotiations, the Kyoto Protocol was adopted at COP 3 in Kyoto, Japan, on 11 December 1997.

The complexity of the negotiations, however, meant that considerable “unfinished business” remained even after the Kyoto Protocol itself was adopted. The Protocol sketched out the basic features of its “mechanisms” and compliance system, for example, but did not explain the all-important rules of how they would operate. Although 84 countries signed the Protocol, indicating that they intended to ratify, many were reluctant to actually do so and bring the Protocol into force before having a clearer picture of the treaty’s rulebook. A new round of negotiations was therefore launched to flesh out the Kyoto Protocol’s rulebook, conducted in parallel with negotiations on ongoing issues under the Convention. This round finally culminated at COP 7 with the adoption of the Marrakesh Accords, setting out detailed rules for the implementation of the Kyoto Protocol. As discussed above, the Marrakesh Accords made considerable progress regarding the implementation of the Convention.

The Kyoto Protocol entered into force on 16 February 2005.

http://unfccc.int/2860.php

Breath the same carbon


Pernahkah kita berpikir? klo setiap tarikan gas, di kendaraan kita, mulai membakar bumi ini.. karena minyak bumi, sejatinya ada di perut bumi, bukan di luar bumi.. sejak 1990an grafik, jumlah emisi gas karbon di dunia melonjak tajam..
dan dunia ini mulai terbakar.. dan karbon di dunia makin pekat,
8 juta ton karbon dioksida telah mencemari atmosfer (2005), skrg ya bayangin aja??,

Rata-rata emisi tahunan karbon dioksida di dunia meningkat pesat tiga kali lipat pada kurun mulai tahun 2000 hingga sekarang, bila dibandingkan dengan era tahun 1990-an.

Berdasarkan penelitian yang dilaporkan dalam "Proceeding of National Academy of Sciences" ditemukan fakta bahwa rata-rata pertambahan emisi karbon dioksida meningkat dari 1,1 persen per tahun pada 1990 menjadi 3,3 persen per tahun pada tahun 2000.

Koordinator peneliti, Mike Raupach, dari CSIRO Marine and Atmospheric Research and the Global Carbon Project, mengatakan pada tahun 2005 secara global 8 juta ton karbon dioksida telah mencemari atmosfer. Meningkat pesat bila dibandingkan tahun 1995 yang hanya 6 juta ton.

"Faktor pendorong utama dari peningkatan emisi, secara global, adalah meningkatnya pembakaran karbon per satu dolar kesejahteraan yang dihasilkan," kata Raupach dalam siaran persnya, Selasa (5/6).

Emisi karbon dioksida yang berasal dari bahan bakar fosil ini merupakan faktor pendorong utama terjadinya perubahan iklim dunia.

Walaupun perkembangan industri di negara maju seperti Australia dan Amerika Serikat cenderung stagnan, di negara berkembang seperti China semakin meningkat. Kedua faktor tersebut justru menurunkan efisiensi penggunaan bahan bakar fosil secara global.

Ia mengatakan, di China, emisi yang dikeluarkan per orang masih di bawah rata-rata global. Berdasarkan angka rata-rata, di Australia dan Amerika per orang mengeluarkan emisi lebih dari 5 ton karbon pertahun. Sedangkan di China hanya satu ton pertahun.

Sejak revolusi industri dimulai, Amerika Serikat dan negara Eropa tercatat telah menyumbang 50 persen dari total emisi. Sedangkan China kurang dari 8 persen. Adapun 50 negara berkembang lain menyumbang kurang dari 0,5 persen dari emisi global selama 200 tahun, secara kumulatif.

Raupach mengatakan Australia, dengan 0,32 persen dari populasi global, telah menyumbang 1,43 persen dari emisi karbon dunia.

Ia menambahkan, sejauh ini upaya global untuk menurunkan emisi nyaris tidak mempengaruhi penggunaannya. Penelitian menunjukkan emisi gas dari bahan bakar fosil meningkat pesat dibandingkan dengan skenario yang telah ditetapkan oleh Panel Antar Pemerintah PBB mengenai Perubahan Iklim (IPCC).

Berdasarkan laporan yang dipublikasikan oleh PEACE dan disponsori oleh Bank Dunia pada bulan Maret 2007, komposisi sumber emisi karbon di Indonesia, 85 persen emisi karbon di Indonesia diakibatkan oleh aktifitas pembukaan hutan (deforestation), dan hanya 9 persen yang berasal dari sektor energi. Jika perhitungan dibatasi hanya pada emisi karbon yang dihasilkan manusia (human-produced carbon emission) maka Indonesia menduduki urutan ke 19 dari seluruh negara di dunia, dengan kontribusi hanya 1.3 persen dari total emisi karbon dunia. Ini artinya jika seluruh sumber energi di Indonesia bebas karbon maka tidak akan berperan secara signifikan pada pengurangan emisi karbon dunia.

Bahkan jika dihitung perkapita maka emisi karbon di Indonesia hanya menduduki rangking ke 128 dengan emisi karbon sekitar 1,4 ton perkapita pertahun. Bandingkan dengan Amerika Serikat yang mencapai 19,8 ton perkapita pertahun atau Cina yang besarnya 3,2 ton perkapita pertahun. Bahkan emisi karbon perkapita negara tetangga Malaysia hampir lima kali lipat Indonesia. Dengan kenyataan tersebut sungguh tidak fair untuk memaksakan pembatasan emisi karbon untuk konteks Indonesia. Apalagi jika langkah ini harus dibayar mahal dengan mengorbankan pembangunan ekonomi.