element




StopGlobalWarming.org

site statistics

Saturday, October 27, 2007

Skenario Minyak 100 Dollar AS Per Barrel

hope it's not the end of the world....
gara2 smua org tiap hari sibuk membakar bumi ini...
damn people....

Lonjakan harga minyak hingga menyentuh level 90 dollar AS per barrel di New York Merchantile Exchange (NYME) pada 19 Oktober lalu mengisyaratkan skenario Peak Oil semakin menjadi kenyataan.

Beberapa tahun lalu orang tidak membayangkan harga minyak bisa setinggi ini, tetapi perkembangan beberapa tahun terakhir semakin menunjukkan bukan tidak mungkin prediksi harga mencapai 100 dollar AS per barrel bisa terwujud dalam waktu dekat.

Pada September 2003, harga rata-rata minyak mentah standar di NYME masih di bawah 25 dollar AS per barrel. Juni 2005 sudah di atas 60 dollar AS per barrel, Mei 2007 di atas 80 dollar AS, dan 19 Oktober lalu sempat tembus 90 dollar AS per barrel. Meningkat sekitar 75 persen hanya dalam tahun ini. Pada level sekarang ini, harga minyak mentah terhitung sudah naik di atas 300 persen dibandingkan dengan tahun 1990.

Harga 90 dollar AS per barrel itu mendekati harga tertinggi dalam sejarah yang terjadi tahun 1980 (di puncak krisis Irak-Iran), yang kalau dikurskan dengan kurs sekarang setara 95 dollar AS per barrel. Saat itu lonjakan harga tersebut mengakibatkan resesi ekonomi dunia.

Faktor geopolitis, yakni meningkatnya ketegangan antara Turki dan Irak, memang ikut memicu pergerakan dramatis harga minyak sepanjang pekan lalu, selain faktor lain seperti meningkatnya kebutuhan minyak musim dingin di belahan bumi utara, menipisnya cadangan minyak AS, dan kekhawatiran menyangkut badai yang bisa mengganggu produksi minyak AS.

Tetapi, terlepas dari ikut bermainnya faktor geopolitis yang sifatnya insidental, faktor fundamental, berupa ketidakseimbangan suplai dan permintaan, tetap menjadi penentu penting pergerakan harga minyak mentah di pasar dunia sekarang ini.

Harga 90 dollar AS bisa jadi baru pemanasan karena secara fundamental pasar diperkirakan akan tetap ketat, dengan permintaan minyak beberapa tahun ke depan diperkirakan akan tetap tinggi. Lonjakan permintaan terutama berasal dari negara-negara Asia non-Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) seperti China dan India yang mengalami pertumbuhan ekonomi sekitar 10 persen per tahun dan tidak ada tanda-tanda melambat sampai sekarang.

Prediksi harga minyak akan segera menyentuh 100 dollar AS per barrel yang semua dianggap mustahil antara lain dilontarkan para penganut Peak Oil Theory.

Peak Oil Theory yang dimotori ahli geologi minyak AS, King Hubbert, meyakini produksi minyak mentah global sekarang ini sudah atau akan segera mencapai titik jenuhnya, untuk kemudian stagnan, sebelum akhirnya mengalami penurunan dengan cepat secara permanen.

Peningkatan produksi

Sementara kubu penentangnya meyakini produksi masih akan meningkat hingga 2040 atau 2050 dengan ditemukannya sumber-sumber produksi baru atau ditingkatkannya produksi di sumur-sumur lama melalui teknologi yang lebih canggih.

Cambridge Energy Research Associates (CERA), misalnya, mengatakan sisa cadangan minyak global masih 3,74 triliun barrel, tiga kali lipat lebih besar dari yang disebutkan penganut Peak Oil. Dan itu masih bisa meningkat lagi.

Sayangnya, kecenderungan beberapa tahun terakhir ini lebih berpihak pada penganut teori Peak Oil. Beberapa indikasinya, lapangan Cantarell di Teluk Meksiko yang sudah berproduksi sejak 1971 dan merupakan lapangan minyak kedua terbesar dunia sudah tua dan terus menurun produksinya.

Lapangan terbesar, Ghawar di Arab Saudi, dan lapangan Burgan di Kuwait yang juga masuk lima besar, juga menunjukkan gejala sama. Sejak 1990, hanya ada satu lapangan baru besar yang ditemukan, yang bisa diharapkan mampu berproduksi hingga 500.000 barrel per hari (bph) pada kapasitas puncaknya, yakni lapangan Kahagan di Kazakhstan.

Padahal, teknologi perminyakan sudah sedemikian berkembang dan canggih, serta mampu meningkatkan keberhasilan penemuan dari 25 persen tahun 1990-an menjadi 45 persen. Teknologi enhanced recovery juga berhasil meningkatkan jumlah minyak yang berhasil diangkat dari sumur dari 20 persen menjadi 60 persen.

Namun, dengan kemajuan teknologi yang pesat ini pun, produksi tetap tak mampu mengimbangi permintaan. Teknologi mahal ini justru mengakibatkan semakin mahalnya biaya memproduksi minyak mentah dunia. Sebagai gambaran, untuk bisa mengantongi untung 10 persen, perusahaan minyak di Kanada setidaknya harus mematok harga jual 60 dollar AS per barrel.

Skenario referensi yang dibuat Energy Information Administration/EIA (Annual Energy Outlook 2007/IEO2007) memprediksikan konsumsi minyak dan bahan bakar cair lain seperti etanol, batu bara cair, dan LNG cair akan meningkat dari 83 juta bph setara minyak tahun 2004 menjadi 97 juta bph tahun 2015 dan 118 juta bph tahun 2030.

Sedangkan berdasarkan skenario tinggi (high price case), harga minyak diproyeksikan mencapai 157 dollar AS per barrel secara nominal pada 2030. Sebagai catatan prediksi harga EIA selama ini selalu terlampaui.

Selama ini harga minyak lebih banyak dikendalikan oleh kartel Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan oligopoli segelintir perusahaan minyak raksasa negara maju. Selain faktor suplai dan permintaan, spekulan juga ikut bermain. Beberapa analis memperkirakan dari 80 dollar AS per barrel harga minyak sekarang ini, sekitar 10 dollar AS di antaranya adalah karena peran spekulasi hedge funds.

Di luar itu masih banyak faktor lain yang juga bisa memengaruhi harga minyak, termasuk faktor geopolitis, krisis politik, pemogokan buruh, gangguan teroris, dan badai. Banyak yang menduga invasi atau serangan AS ke Iran akan sangat berdampak katastropik terhadap pasar dan harga minyak.

Tingginya harga minyak, ditambah dampak krisis kredit perumahan kelas dua di AS (subprime mortgage) di AS sekarang ini, dikhawatirkan bakal menyeret perekonomian AS dan kemudian perekonomian dunia dalam resesi.

Spekulasi yang berkembang, resesi di AS akan membuat permintaan akan minyak mentah juga turun (mengingat AS adalah konsumen terbesar minyak), sehingga tekanan dari sisi permintaan juga turun dan harga minyak dunia pun akan turun. Artinya, sebelum mencapai level 100 dollar AS per barrel, harga akan turun. Tetapi apakah betul begitu?

Sayangnya, tidak semuanya yakin resesi di AS pun bakal mampu mengerem permintaan dunia. Kalaupun permintaan AS turun, permintaan negara-negara berkembang emerging market diperkirakan akan terus meningkat. Karakteristik pasar minyak mentah dunia sekarang ini, menurut EIA dan OECD, ditandai oleh terus meningkatnya konsumsi (terutama dari China dan India), pertumbuhan pasokan non- OPEC yang hanya moderat, terus menurunnya stok (inventori) minyak di AS, dan meningkatnya permintaan terhadap minyak produksi OPEC.

Dari gambaran ini, tekanan harga minyak sekarang ini diprediksi bakal terus berlanjut pada 2008, terutama jika laju pertumbuhan konsumsi minyak dunia tidak dapat direm. Ditambah lagi dengan adanya skeptisme bakal terealisasinya proyeksi tambahan pasokan 2 juta barrel (1,2 juta bph dari OPEC dan 860.000 bph dari non-OPEC ) di tengah kondisi geopolitis seperti sekarang.

Selain itu, ada kecenderungan negara-negara penghasil minyak sendiri, termasuk produsen besar OPEC di Timur Tengah (Timteng), menahan sebagian produksi minyak di dalam negerinya. Salah satu indikasi yang disebut Goldman Sachs, misalnya, ekspor minyak Timteng sekarang ini lebih rendah dari tahun 2000, padahal produksi mereka meningkat 2 juta barrel per hari.

Peningkatan pendapatan negara-negara eksportir minyak mencapai 850 miliar dollar AS selama kurun 1999-2005. Nilai cadangan minyak yang mereka kuasai juga meningkat lebih dari 40 triliun dollar AS antara tahun 1999 dan tahun 2005.

Permanen

Dana Moneter Internasional (IMF) dalam laporan "Oil Price and Global Imbalances" memprediksikan tekanan harga minyak sekarang ini bakal bertahan atau permanen. Ini bedanya dengan oil shock sebelumnya. Dari perspektif historis, separuh lonjakan harga minyak 1973-1974 terbukti permanen/berlanjut, sementara oil shock 1979-1981 akhirnya berbalik.

Untuk yang sekarang ini, ekspektasi pasar maupun penilaian terhadap fundamental jangka menengah pasar minyak mengisyaratkan sebagian besar tren kenaikan sifatnya permanen atau bertahan. Artinya, kemungkinan koreksi atau turun, kecil.

Prediksi jangka menengah IEA juga memperkirakan kondisi pasar minyak dunia akan tetap ketat lima tahun mendatang, dengan pertumbuhan konsumsi 2,2 persen per tahun, sementara pasokan dari non-OPEC hanya meningkat 1 persen per tahun sebelum akhirnya stagnan. Ini akan semakin mempertinggi tensi dan ketergantungan negara-negara maju pada OPEC.

OPEC akan dipaksa menggenjot produksi dari 31,3 juta bph sekarang ini menjadi 36,2 juta bph tahun 2012 sehingga berakibat kapasitas tersisa hanya 1,6 persen dari permintaan global, dari sekarang 2,9 persen.

Beberapa negara mengantisipasi prospek melonjaknya harga minyak ini dengan menimbun stok dan melakukan lindung nilai (hedging) sejak jauh-jauh hari.

Langkah Venezuela menasionalisasi proyek-proyek minyak perusahaan-perusahaan minyak asing mulai menginspirasi dan diikuti negara lain untuk mengamankan kepentingan jangka panjang mereka. Pada 22 Juni lalu Rusia memaksa BP menjual mayoritas saham di lapangan gas raksasa di Siberia, Kovykta, seharga sekitar 700 juta dollar AS.

Tahun sebelumnya, Royal Dutch Shell PLC juga dipaksa melepas kontrol mayoritas atas proyek gas Sakhalin II di Timur Jauh, dan Rusia kini juga tengah melakukan tekanan serupa terhadap ExxonMobil di lapangan lain tidak jauh dari situ.

Negara-negara lain melakukan tidak hanya dalam harga, tetapi juga hedging sejak di perut bumi. Contohnya China. Mengantisipasi kebutuhan energi untuk mendukung kesinambungan pertumbuhan ekonomi tingginya, negara ini sangat agresif dalam perburuan minyak. Mereka tidak hanya menandatangani berbagai kontrak besar jangka panjang pasokan migas dan sumber energi fosil lain seperti batu bara dengan negara-negara pemilik deposit besar, tetapi BUMN-BUMN minyaknya juga agresif mengakuisisi saham perusahaan-perusahaan minyak dan investasi eksplorasi di berbagai negara.

Selain permintaan yang pasti akan terus meningkat, situasi ke depan masih penuh ketidakpastian dan negara-negara yang tak mampu mengantisipasi dan menyiasati kondisi ini bakal menjadi korban paling menyedihkan dari situasi yang serba sulit diprediksi ini. (sri hartati samhadi)

Skenario Minyak 100 Dollar AS Per Barrel




hope it's not the end of the world....

gara2 smua org tiap hari sibuk membakar bumi ini...
damn people....

Lonjakan harga minyak hingga menyentuh level 98 dollar AS per barrel (data 7 november 2007) di New York Merchantile Exchange (NYME) pada 19 Oktober lalu mengisyaratkan skenario Peak Oil semakin menjadi kenyataan.

Beberapa tahun lalu orang tidak membayangkan harga minyak bisa setinggi ini, tetapi perkembangan beberapa tahun terakhir semakin menunjukkan bukan tidak mungkin prediksi harga mencapai 100 dollar AS per barrel bisa terwujud dalam waktu dekat.

Pada September 2003, harga rata-rata minyak mentah standar di NYME masih di bawah 25 dollar AS per barrel. Juni 2005 sudah di atas 60 dollar AS per barrel, Mei 2007 di atas 80 dollar AS, dan 19 Oktober lalu sempat tembus 90 dollar AS per barrel. Meningkat sekitar 75 persen hanya dalam tahun ini. Pada level sekarang ini, harga minyak mentah terhitung sudah naik di atas 300 persen dibandingkan dengan tahun 1990.

Harga 90 dollar AS per barrel itu mendekati harga tertinggi dalam sejarah yang terjadi tahun 1980 (di puncak krisis Irak-Iran), yang kalau dikurskan dengan kurs sekarang setara 95 dollar AS per barrel. Saat itu lonjakan harga tersebut mengakibatkan resesi ekonomi dunia.

Faktor geopolitis, yakni meningkatnya ketegangan antara Turki dan Irak, memang ikut memicu pergerakan dramatis harga minyak sepanjang pekan lalu, selain faktor lain seperti meningkatnya kebutuhan minyak musim dingin di belahan bumi utara, menipisnya cadangan minyak AS, dan kekhawatiran menyangkut badai yang bisa mengganggu produksi minyak AS.

Tetapi, terlepas dari ikut bermainnya faktor geopolitis yang sifatnya insidental, faktor fundamental, berupa ketidakseimbangan suplai dan permintaan, tetap menjadi penentu penting pergerakan harga minyak mentah di pasar dunia sekarang ini.

Harga 98 dollar AS bisa jadi baru pemanasan karena secara fundamental pasar diperkirakan akan tetap ketat, dengan permintaan minyak beberapa tahun ke depan diperkirakan akan tetap tinggi. Lonjakan permintaan terutama berasal dari negara-negara Asia non-Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) seperti China dan India yang mengalami pertumbuhan ekonomi sekitar 10 persen per tahun dan tidak ada tanda-tanda melambat sampai sekarang.

Prediksi harga minyak akan segera menyentuh 100 dollar AS per barrel yang semua dianggap mustahil antara lain dilontarkan para penganut Peak Oil Theory.

Peak Oil Theory yang dimotori ahli geologi minyak AS, King Hubbert, meyakini produksi minyak mentah global sekarang ini sudah atau akan segera mencapai titik jenuhnya, untuk kemudian stagnan, sebelum akhirnya mengalami penurunan dengan cepat secara permanen.

Peningkatan produksi

Sementara kubu penentangnya meyakini produksi masih akan meningkat hingga 2040 atau 2050 dengan ditemukannya sumber-sumber produksi baru atau ditingkatkannya produksi di sumur-sumur lama melalui teknologi yang lebih canggih.

Cambridge Energy Research Associates (CERA), misalnya, mengatakan sisa cadangan minyak global masih 3,74 triliun barrel, tiga kali lipat lebih besar dari yang disebutkan penganut Peak Oil. Dan itu masih bisa meningkat lagi.

Sayangnya, kecenderungan beberapa tahun terakhir ini lebih berpihak pada penganut teori Peak Oil. Beberapa indikasinya, lapangan Cantarell di Teluk Meksiko yang sudah berproduksi sejak 1971 dan merupakan lapangan minyak kedua terbesar dunia sudah tua dan terus menurun produksinya.

Lapangan terbesar, Ghawar di Arab Saudi, dan lapangan Burgan di Kuwait yang juga masuk lima besar, juga menunjukkan gejala sama. Sejak 1990, hanya ada satu lapangan baru besar yang ditemukan, yang bisa diharapkan mampu berproduksi hingga 500.000 barrel per hari (bph) pada kapasitas puncaknya, yakni lapangan Kahagan di Kazakhstan.

Padahal, teknologi perminyakan sudah sedemikian berkembang dan canggih, serta mampu meningkatkan keberhasilan penemuan dari 25 persen tahun 1990-an menjadi 45 persen. Teknologi enhanced recovery juga berhasil meningkatkan jumlah minyak yang berhasil diangkat dari sumur dari 20 persen menjadi 60 persen.

Namun, dengan kemajuan teknologi yang pesat ini pun, produksi tetap tak mampu mengimbangi permintaan. Teknologi mahal ini justru mengakibatkan semakin mahalnya biaya memproduksi minyak mentah dunia. Sebagai gambaran, untuk bisa mengantongi untung 10 persen, perusahaan minyak di Kanada setidaknya harus mematok harga jual 60 dollar AS per barrel.

Skenario referensi yang dibuat Energy Information Administration/EIA (Annual Energy Outlook 2007/IEO2007) memprediksikan konsumsi minyak dan bahan bakar cair lain seperti etanol, batu bara cair, dan LNG cair akan meningkat dari 83 juta bph setara minyak tahun 2004 menjadi 97 juta bph tahun 2015 dan 118 juta bph tahun 2030.

Sedangkan berdasarkan skenario tinggi (high price case), harga minyak diproyeksikan mencapai 157 dollar AS per barrel secara nominal pada 2030. Sebagai catatan prediksi harga EIA selama ini selalu terlampaui.

Selama ini harga minyak lebih banyak dikendalikan oleh kartel Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan oligopoli segelintir perusahaan minyak raksasa negara maju. Selain faktor suplai dan permintaan, spekulan juga ikut bermain. Beberapa analis memperkirakan dari 80 dollar AS per barrel harga minyak sekarang ini, sekitar 10 dollar AS di antaranya adalah karena peran spekulasi hedge funds.

Di luar itu masih banyak faktor lain yang juga bisa memengaruhi harga minyak, termasuk faktor geopolitis, krisis politik, pemogokan buruh, gangguan teroris, dan badai. Banyak yang menduga invasi atau serangan AS ke Iran akan sangat berdampak katastropik terhadap pasar dan harga minyak.

Tingginya harga minyak, ditambah dampak krisis kredit perumahan kelas dua di AS (subprime mortgage) di AS sekarang ini, dikhawatirkan bakal menyeret perekonomian AS dan kemudian perekonomian dunia dalam resesi.

Spekulasi yang berkembang, resesi di AS akan membuat permintaan akan minyak mentah juga turun (mengingat AS adalah konsumen terbesar minyak), sehingga tekanan dari sisi permintaan juga turun dan harga minyak dunia pun akan turun. Artinya, sebelum mencapai level 100 dollar AS per barrel, harga akan turun. Tetapi apakah betul begitu?

Sayangnya, tidak semuanya yakin resesi di AS pun bakal mampu mengerem permintaan dunia. Kalaupun permintaan AS turun, permintaan negara-negara berkembang emerging market diperkirakan akan terus meningkat. Karakteristik pasar minyak mentah dunia sekarang ini, menurut EIA dan OECD, ditandai oleh terus meningkatnya konsumsi (terutama dari China dan India), pertumbuhan pasokan non- OPEC yang hanya moderat, terus menurunnya stok (inventori) minyak di AS, dan meningkatnya permintaan terhadap minyak produksi OPEC.

Dari gambaran ini, tekanan harga minyak sekarang ini diprediksi bakal terus berlanjut pada 2008, terutama jika laju pertumbuhan konsumsi minyak dunia tidak dapat direm. Ditambah lagi dengan adanya skeptisme bakal terealisasinya proyeksi tambahan pasokan 2 juta barrel (1,2 juta bph dari OPEC dan 860.000 bph dari non-OPEC ) di tengah kondisi geopolitis seperti sekarang.

Selain itu, ada kecenderungan negara-negara penghasil minyak sendiri, termasuk produsen besar OPEC di Timur Tengah (Timteng), menahan sebagian produksi minyak di dalam negerinya. Salah satu indikasi yang disebut Goldman Sachs, misalnya, ekspor minyak Timteng sekarang ini lebih rendah dari tahun 2000, padahal produksi mereka meningkat 2 juta barrel per hari.

Peningkatan pendapatan negara-negara eksportir minyak mencapai 850 miliar dollar AS selama kurun 1999-2005. Nilai cadangan minyak yang mereka kuasai juga meningkat lebih dari 40 triliun dollar AS antara tahun 1999 dan tahun 2005.

Permanen

Dana Moneter Internasional (IMF) dalam laporan "Oil Price and Global Imbalances" memprediksikan tekanan harga minyak sekarang ini bakal bertahan atau permanen. Ini bedanya dengan oil shock sebelumnya. Dari perspektif historis, separuh lonjakan harga minyak 1973-1974 terbukti permanen/berlanjut, sementara oil shock 1979-1981 akhirnya berbalik.

Untuk yang sekarang ini, ekspektasi pasar maupun penilaian terhadap fundamental jangka menengah pasar minyak mengisyaratkan sebagian besar tren kenaikan sifatnya permanen atau bertahan. Artinya, kemungkinan koreksi atau turun, kecil.

Prediksi jangka menengah IEA juga memperkirakan kondisi pasar minyak dunia akan tetap ketat lima tahun mendatang, dengan pertumbuhan konsumsi 2,2 persen per tahun, sementara pasokan dari non-OPEC hanya meningkat 1 persen per tahun sebelum akhirnya stagnan. Ini akan semakin mempertinggi tensi dan ketergantungan negara-negara maju pada OPEC.

OPEC akan dipaksa menggenjot produksi dari 31,3 juta bph sekarang ini menjadi 36,2 juta bph tahun 2012 sehingga berakibat kapasitas tersisa hanya 1,6 persen dari permintaan global, dari sekarang 2,9 persen.

Beberapa negara mengantisipasi prospek melonjaknya harga minyak ini dengan menimbun stok dan melakukan lindung nilai (hedging) sejak jauh-jauh hari.Negara2 penghasil polusi terbesar di dunia, seperti Amerika, China, dan India, sudah mulai rakus melahap hampir semua tempat dan blok penambangan minyak, di seluruh dunia, itu demi memenuhi kebutuhan produksi mereka yang semakin meningkat, dan tidak berimbang dgn sumber daya alam yang mereka miliki.

Langkah Venezuela menasionalisasi proyek-proyek minyak perusahaan-perusahaan minyak asing mulai menginspirasi dan diikuti negara lain untuk mengamankan kepentingan jangka panjang mereka. Pada 22 Juni lalu Rusia memaksa BP menjual mayoritas saham di lapangan gas raksasa di Siberia, Kovykta, seharga sekitar 700 juta dollar AS.

Tahun sebelumnya, Royal Dutch Shell PLC juga dipaksa melepas kontrol mayoritas atas proyek gas Sakhalin II di Timur Jauh, dan Rusia kini juga tengah melakukan tekanan serupa terhadap ExxonMobil di lapangan lain tidak jauh dari situ.

Negara-negara lain melakukan tidak hanya dalam harga, tetapi juga hedging sejak di perut bumi. Contohnya China. Mengantisipasi kebutuhan energi untuk mendukung kesinambungan pertumbuhan ekonomi tingginya, negara ini sangat agresif dalam perburuan minyak. Mereka tidak hanya menandatangani berbagai kontrak besar jangka panjang pasokan migas dan sumber energi fosil lain seperti batu bara dengan negara-negara pemilik deposit besar, tetapi BUMN-BUMN minyaknya juga agresif mengakuisisi saham perusahaan-perusahaan minyak dan investasi eksplorasi di berbagai negara.

imbas, naiknya harga minyak, karena adanya supply yang menipis, dan kebutuhan yang semakin banyak.juga menaikkan harga mata uang

Selain permintaan yang pasti akan terus meningkat, situasi ke depan masih penuh ketidakpastian dan negara-negara yang tak mampu mengantisipasi dan menyiasati kondisi ini bakal menjadi korban paling menyedihkan dari situasi yang serba sulit diprediksi ini. (sri hartati samhadi)

Sektor Industri gagap terhadap Lonjakan Harga Minyak

Sektor Industri
Gagap terhadap Lonjakan Harga Minyak

Oleh Ahmad Arif

Kecenderungan harga minyak bumi di pasar internasional yang terus naik sejak tahun 2004 selama ini disikapi lamban oleh kalangan industri di Indonesia. Ketika kini harga minyak telah menyentuh harga 90 dollar Amerika Serikat per barrel, barulah mereka kalang kabut. Masih adakah kesempatan untuk mengatasi dampak kenaikan harga minyak global ini?

Pengamat perminyakan Kurtubi menilai harga minyak dunia kemungkinan akan terus melambung hingga triwulan I-2008 karena permintaan minyak dunia terus melonjak, tanpa diikuti lonjakan produksi. Ketegangan Turki dengan Kurdi di Irak juga dianggap menakutkan para konsumen sehingga mereka memburu minyak. "Jika kondisi geopolitik ini terus memanas, kenaikan harga minyak bisa mencapai angka 100 dollar AS per barrel," kata Kurtubi.

Jika janji pemerintah untuk tidak menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi ditepati, setidaknya hingga Pemilihan Umum 2009, masyarakat tidak akan terkena dampak langsung dari kenaikan harga minyak global.

Tetapi, lain halnya dengan sektor industri, yang bergantung pada pasokan listrik PLN dan BBM nonsubsidi. Mereka tentu akan terkena dampak langsung dengan naiknya harga energi yang menjadi komponen penting dalam produksi.

Peneliti dari Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi Sosial (LP3ES) Pri Agung Rakhmanto menyebutkan, kenaikan harga minyak yang menyentuh angka hingga 90 dollar AS per barrel akan memicu kenaikan harga BBM industri dalam negeri sekitar 10 persen. Biaya produksi pun akan naik, dan harga produk kemungkinan akan melambung lebih dari 10 persen.

"Industri yang akan banyak terbebani dengan kenaikan harga minyak adalah yang yang padat menggunakan energi, di antaranya tekstil, perikanan, pabrik sepatu, semen, dan plastik," kata Kurtubi.

Sekretaris Eksekutif Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) EG Ismy mengatakan, kalangan pengusaha tekstil termasuk yang paling terpukul dengan kenaikan harga minyak dunia. Itu karena sebagian besar pengusaha tekstil masih bergantung pada bahan bakar minyak dan pasokan listrik PLN nonsubsidi untuk memenuhi kebutuhan energi mereka.

Belanja energi merupakan komponen biaya kedua terbesar pada perusahaan tekstil, yaitu mencapai 18 persen dari total biaya produksi. Sedangkan biaya untuk membeli bahan baku dan bahan pembantu sebesar 58 persen, membayar tenaga kerja 16 persen, dan sisanya sebesar 8 persen untuk membayar bunga bank, pungutan, administrasi, serta pemasaran.

Dengan kenaikan harga energi, komponen biaya yang bisa diubah hanyalah pengurangan bahan baku dan bahan pembantu, serta upah untuk tenaga kerja. "Komponen lain tak bisa diutak-atik lagi," kata Ismy.

Diversifikasi energi

Seharusnya kenaikan harga minyak ini tak menjadi masalah lagi bagi sektor industri karena kecenderungan kenaikan harga minyak sudah terjadi sejak lama. "Seharusnya mereka sudah beradaptasi dengan melakukan efisiensi dan mengganti bahan bakar minyak dengan bahan bakar lain yang lebih murah, seperti batu bara dan gas," kata Kurtubi.

Tetapi, kenyataan berbicara lain. Sebagian besar industri di Indonesia, yang padat energi seperti tekstil, masih bergantung pada minyak bumi. Ismy menyebutkan, baru 20 dari 200 perusahaan tekstil di tingkat hulu yang mulai menggunakan batu bara. Itu pun perbandingan batu bara masih 30 persen dari seluruh komponen energi.

Masalah tambah gawat karena banyak mesin industri di Indonesia yang tergolong kedaluwarsa. Mesin-mesin tua ini lebih boros menyedot bahan bakar dalam proses produksi. Oleh sebab itu, desakan efisiensi melalui peremajaan mesin di Indonesia menjadi mutlak.

Masalahnya, industri kita sulit melakukan itu, karena untuk membangun industri modern yang efisien harus ada kredit investasi jangka panjang dari perbankan. Sekarang, tak ada lagi bank yang mau investasi seperti itu.

Menurut Ismy, penggunaan batu bara untuk industri masih sarat masalah. Di antaranya, kendala lingkungan dan hambatan integrasi energinya dengan PLN. Kalangan pengusaha juga meragukan keberlanjutan penggunaan batu bara karena pasar luar negeri tidak bisa menerima produk yang dinilai tidak ramah lingkungan. Sementara, batu bara dinilai sebagai salah satu yang tidak ramah lingkungan.

Sikap aparatur pemerintah sendiri juga masih terbelah. "Di satu sisi, kita didorong menggunakan batu bara, tetapi di sisi lain Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KLH) masih menilai limbah batu bara termasuk bahan berbahaya dan beracun," kata Ismy.

Pengelolaan limbah batu bara memang masih menjadi masalah serius. "Ada anggota kami menggunakan limbahnya untuk membuat batako dan tiang listrik, tapi kemudian didatangi polisi karena dinilai izin kami hanya membuat tekstil, bukan membuat batako. Padahal, itu upaya untuk mengatasi masalah limbah batu bara," kata Ismy.

Di sisi lain, PLN juga melarang sinkronisasi arus listrik mereka dengan energi yang dihasilkan dari batu bara milik industri. Jaminan ketersediaan pasokan batu bara untuk industri dalam negeri juga masih belum diatur dengan perangkat perundang-undangan sehingga banyak kalangan industri yang ragu-ragu untuk berubah ke batu bara. "Mekanismenya di lapangan memang masih banyak masalah," kata Ismy.

Terlambat beradaptasi

Menurut Kurtubi, kunci untuk mengatasi masalah energi yang dihadapi oleh industri adalah secepatnya mengurangi ketergantungan industri dari minyak ke bahan bakar lain yang lebih murah, seperti batu bara dan gas. "Ke depan seharusnya ada petunjuk pelaksanaan yang jelas, bagaimana industri-industri ini bisa mengonversikan energi dari minyak ke batu bara atau sumber energi lain yang lebih murah," jelas dia.

Ini berarti, pemerintah harus jelas dan mempersiapkan prasarana batu bara, meliputi masalah pengangkutan. "Industri lokasi di mana, dan sampai berapa lama akan memakai batu bara. Juga jaminan ketersediaan pasokan untuk industri dalam negeri harus jelas," kata Kurtubi.

Berdasarkan data Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), konsumsi batu bara dalam negeri masih sangat kecil jika dibandingkan dengan yang diekspor. Pada tahun 2006, sebanyak 129,504 juta ton batu bara diekspor, dan hanya 39,208 juta ton yang digunakan untuk dalam negeri. Itu pun sebagian besar konsumsi dalam negeri untuk pasokan PLN.

Menurut Agung, adaptasi sektor industri terhadap kenaikan harga minyak sudah sangat terlambat. Berbeda dengan China, yang secara serius menggunakan batu bara sebagai salah satu sumber energinya untuk mengurangi penggunaan minyak. Brasil adalah contoh negara lain yang sukses melakukan diversifikasi energi dengan etanol. "Sementara kita belum apa-apa," katanya.

Wednesday, October 24, 2007

AL GORE MERAIH NOBEL




Oslo: Seperti yang diduga, mantan Wakil Presiden Amerika Serikat Al Gore akhirnya memenangkan hadiah nobel tahun ini. Ketua Komite Nobel Norwegia Ole Danbolt menyatakan, Al Gore dinilai layak menerima hadiah nobel karena upayanya menyebarluaskan pengetahuan tentang perubahan iklim yang terjadi akibat ulah manusia.

Al Gore juga telah memberikan dasar pengetahuan bagaimana memerangi perubahan iklim tersebut. Al Gore dinilai memiliki komitmen yang kuat terhadap lingkungan. Hal ini terlihat dari aktivitasnya, baik di bidang politik maupun pendidikan. Al Gore telah lama menjadi politisi peduli lingkungan yang selalu memberikan wawasan atas perlunya langkah untuk menghadapi perubahan iklim.

Al Gore tidak sendiri. Komite Nobel Norwegia juga memberikan hadiah kepada sebuah badan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang khusus menangani perubahan lingkungan, Intergovernmental Panel Climate Change (IPCC).(DOR)



OSLO, Norway - Former Vice President Al Gore was nominated for the 2007 Nobel Peace Prize for his wide-reaching efforts to draw the world’s attention to the dangers of global warming, a Norwegian lawmaker said Thursday.

“A prerequisite for winning the Nobel Peace Prize is making a difference, and Al Gore has made a difference,” Conservative Member of Parliament Boerge Brende, a former minister of environment and then of trade, told The Associated Press.

Brende said he joined political opponent Heidi Soerensen of the Socialist Left Party to nominate Gore as well as Canadian Inuit activist Sheila Watt-Cloutier before the nomination deadline expired Thursday.

“Al Gore, like no other, has put climate change on the agenda. Gore uses his position to get politicians to understand, while Sheila works from the ground up,” Brende said.

"I think climate change is the biggest challenge we face in this century," Brende said.

During eight years as Bill Clinton’s vice president, Gore pushed for climate measures, including the Kyoto Treaty. Since leaving office in 2001 he has campaigned worldwide, including with his Oscar-nominated documentary on climate change called “An Inconvenient Truth.”

Norwegian lawmakers are among the thousands of people and groups with rights to nominate Nobel candidates. Others include members of national governments, past laureates, members of the awards committee and its staff, and many university professors.

The winner is traditionally announced in mid-October, with the prize always presented on the Dec. 10 anniversary of the death of its creator, Swedish industrialist Alfred Nobel.

Thursday, October 11, 2007

sekotak penuh rindu

sengaja kusimpan rindu ini, dalam kotak yang rapat..
dgn sedikit lubang hawa, biar harumnya tetap merebak
biar rindu masih bisa bebas bergerak...tertiup angin..
semoga sampai pada mu... kekasihku...

dan bila tiba, saatnya kita bertemu..
akan kupersembahkan padamu..
sekotak penuh rindu.tanpa bungkus kado
seadanya, semampunya..

Friday, October 5, 2007

UN chief urges immediate climate action

from, :stopglobalwarming.org
by: Charles J. Hanley 24 September 2007

U.N. Secretary-General Ban Ki-moon told an unprecedented summit on climate change Monday that "the time for doubt has passed" and a breakthrough is needed in global talks to sharply reduce emissions of global-warming gases.

"The U.N. climate process is the appropriate forum for negotiating global action," Ban told assembled presidents and premiers, an apparent caution against what some see as a U.S. effort to open a separate negotiating track.

The U.N. chief also addressed a chief U.S. objection to negotiated limits on greenhouse-gas emissions, that it will be too damaging to the American economy.

"Inaction now will prove the costliest action of all in the long term," Ban said.

California Gov. Arnold Schwarzenegger, in another summit-opening speech, told the international delegates U.S. states are taking action.

While the Bush administration has resisted emissions caps, California's Republican governor and Democrat-led legislature have approved a law requiring the state's industries to reduce greenhouse gases by an estimated 25 percent by 2020. Other U.S. states, in various ways, are moving to follow California's lead.

"California is moving the United States beyond debate and doubt to action," Schwarzenegger said. "What we are doing is changing the dynamic."

The one-day meeting, with more than 80 national leaders among some 150 participants, also was scheduled to hear from Al Gore, German Chancellor Angela Merkel and other international figures.

U.N. chief Ban organized the summit to build political momentum toward launching negotiations later this year for deep cutbacks in emissions of carbon dioxide and other manmade gases blamed for global warming.

President Bush, who has long opposed such negotiated limits on "greenhouse gases," wasn't participating in the day's meetings but was to attend a small dinner Monday evening, a gathering of key players hosted by Ban.

Rather than accept treaty obligations, Bush has urged industry to cut emissions voluntarily, and emphasizes research on clean-energy technology as one answer.

On Thursday and Friday, Bush will host his own two-day climate meeting, limited to 16 "major emitter" countries. It's the first in a series of U.S.-sponsored climate gatherings.

Many environmentalists fear the separate U.S. "track," which will involve China and India, may undercut the global U.N. negotiating process. But some hope it eventually helps draw those two big developing nations and others into a new, U.N.-negotiated emissions regime.

Speaking to a technology session at Monday's U.N. conference, Secretary of State Condoleezza Rice said the administration views the Washington sessions "as the first in a series of meetings to support and help advance the ongoing U.N. discussion."

This first-ever U.N. climate summit looked ahead to December's annual climate treaty conference in Bali, Indonesia, when the Europeans, Japanese and others hope to initiate talks for an emissions-reduction agreement to succeed the Kyoto Protocol in 2012.

The 1997 Kyoto pact, which the U.S. rejects, requires 36 industrial nations to reduce heat-trapping gases emitted by power plants and other industrial, agricultural and transportation sources by an average 5 percent below 1990 levels by 2012.

Advocates say a breakthrough is needed at Bali — almost certainly requiring a change in the U.S. position — to ensure an uninterrupted transition from Kyoto to a new, deeper-cutting regime.

To try to spur global negotiations, the European Union has committed to reduce emissions by at least an additional 20 percent by 2020.

In comments clearly directed at the U.S., long the biggest greenhouse-gas emitter, French President Nicolas Sarkozy told Monday's summit that "all the developed countries and the largest emitters" must commit to a 50 percent reduction by 2050. Sarkozy, speaking for the EU, also said the U.N. negotiating process is the only "efficient and legitimate framework."

Bush has objected that Kyoto-style mandates would damage the U.S. economy, and says they should have been imposed on fast-growing poorer countries, such as China and India, as well as on developed nations.

The U.N. summit follows a series of reports by a U.N. scientific network that warned of temperatures rising by several degrees Fahrenheit by 2100 and of a drastically changed planet from rising seas, drought and other factors, unless nations rein in greenhouse gases.

The U.N.-sponsored scientists reported global average temperatures over the past 100 years rose 1.3 degrees, and the planet's sea levels rose 6.6 inches, as oceans expanded from warmth and from the runoff of melting land ice.

Just last week, U.S. scientists reported that warmer temperatures this summer had shrunk the Arctic Ocean's ice cap to a record-low size.